Senin, 30 April 2012

3S, Kunci Sukses Entrepreneur di 2012

Tak bisa dipungkiri, penjualan dari individu ke individu atau peer to peer yang mengandalkan rekomendasi sangat dipercaya oleh orang. Rekomendasi seseorang menjadi salah satu keberhasilan sebuah produk bisa diterima masyarakat. Kini, hal tersebut juga berlaku di sosial media. Pengusaha startup di tahun depan, harus memanfaatkan momentum ini untuk bisa meraup konsumen.

Demikian disampaikan Danny W. Wirianto, co-founder Mind Talk yang menjadi pembicara dalam seminar Sparx Up "Gamification and Convergence" di International Design School, Jakarta, Jumat (23/12/2011). "Yang akan menjadi tren adalah 3 S, yakni Social, Share, and Speed," jelasnya.

"Social" adalah bagaimana seseorang terhubung dengan orang lain dan saling berbagi. "Share" adalah bagaimana seseorang membagikan pengalamannya kepada orang lain, melalui teks, foto, video, apapun itu, melalui jejaring sosial. "Speed" adalah bagaimana jejaring sosial bisa memberikan informasi yang sangat cepat, melebihi kecepatan dari wartawan menuliskan berita.

Hal yang harus menjadi bagian yang harus dikembangkan oleh pengusaha startup di tahun 2012, yakni menjaga hubungan sosial dengan masyarakat, sharing informasi yang dibutuhkan masyarakat, dan memiliki kecepatan dalam menanggapi keluhan masyarakat mengenai produk atau layanan yang ditawarkan.

Selain itu, masyarakat juga menyukai penghargaan. Oleh karena itu, buatlah sebuah perusahaanstartup yang bisa menghibur dan menjadi sesuatu yang dicari oleh masyarakat. "Kita sudah stress dengan pekerjaan, kehidupan sudah sulit, lalu baca berita isinya berita buruk semua, tambah stress orang-orang. Anda tahu bagaimana Foursquare bisa lebih populer dari situs check-in lainnya? Karena ada badge, ada penghargaan yang membuat orang lain bangga walau cuma check-in doang," jelas Danny.

Kemudian menurut Danny, mengapa teknik pemasaran dengan gamification akan laku di tahun depan? karena kebutuhan masyarakat akan hiburan dan penghargaan juga besar. Maka, bisa memenangkan sebuah game dan mendapat penghargaan meskipun itu vrtual juga menjadi hiburan yang berarti. Lahan ini akan subur jika peruahaan start-up ingin mencobanya.

Namun tetap, kembali lagi Danny mengingatkan bahwa startup harus fokus kepada satu bidang tertentu. Jika ingin mengembangkan game, fokus di game. Jika ingin mengembangkan aplikasi yang memiliki fungsi, seperti Instagram misalnya, fokuslah membuat aplikasi untuk foto.

Jadi, mengembangkan paltform media sosial dengan fokus kepada salah satu bidang tertentu sembari memikirkan penghargaan apa yang menarik bagi pengguna untuk tetap menggunakan produk kita merupakan cara startup bisa bertahan di tahun depan.

***

sumber : kompas.com

Rabu, 25 April 2012

Peluang Bisnis Kancing dari Bahan Tempurung Kelapa

Potensi bisnis nan besar datang dari tempurung kelapa. Tempurung yang dianggap tak berguna menjadi bernilai setelah dibuat kancing. Perajin kancing dari tempurung ini juga masih sedikit, tapi permintaan kancing alami ini terus meningkat, termasuk permintaan dari pasar ekspor.
 
Limbah tempurung atau batok kelapa nyatanya tidak hanya bermanfaat sebagai bahan arang. Beberapa tahun belakangan, tempurung kelapa juga bisa disulap menjadi sebuah kerajinan yang jauh lebih ekonomis, yakni kancing baju.

Uang Redy, pemilik Redy Handicraft di Tasikmalaya, Jawa Barat, berhasil membangun usaha pembuatan kancing dari tempurung kelapa ini sejak 2007 lalu. Menurut Uang, prospek usaha pembuatan kancing cukup menjanjikan. Selain pemainnya masih sedikit, bahan baku pun melimpah.

Setiap bulan, Uang mengolah enam ton tempurung kelapa untuk bahan baku kancing. Mantan perajin pandan ini membeli bahan baku itu seharga Rp 3 juta. "Harga batok kelapa cenderung stabil, nyaris tak ada kenaikan setiap tahunnya," ujarnya.

Dari bongkahan tempurung kelapa ini, Uang beserta lima orang pekerjanya hanya mengandalkan keterampilan tangan untuk membuat kancing. Alat yang digunakan hanya alat pemotong untuk membentuk kancing, bor untuk proses pelubangan, dan ampelas untuk menghaluskan kancing.

Dalam sebulan Uang bisa membuat hingga 600.000 kancing dengan beragam ukuran, mulai dari kancing berdiameter 2 cm hingga 4,5 cm. "Kancing 2 cm biasa untuk baju, sedangkan kain 4,5 cm untuk kerajinan tas atau sandal," ucapnya. Harga jual kancing ini berkisar Rp 6.000-Rp 8.000 per 100 buah.

Uang pun memasarkan kancingnya hingga ke Tasikmalaya, Bandung, Pekalongan, Cirebon, dan Jakarta. Dari usaha ini, lelaki 50 tahun ini pun bisa mengeruk omzet hingga Rp 40 juta per bulan.

Sayang, karena tenaga kerja masih terbatas, Uang pun belum sanggup menggarap pasar ekspor. "Permintaan pasar ekspor mencapai satu juta kancing per bulan," ungkap Uang yang ingin memiliki pabrik kancing.

Maklum, tak hanya sebagai diminati industri fesyen, kini banyak pula yang memakai kancing tempurung kelapa sebagai hiasan dinding. "Kami pernah menerima order kancing berdiameter 8 cm untuk hiasan dinding. Namun, karena keterbatasan tenaga kerja terpaksa kami tolak," tandasnya.

Uang berharap bahwa dari usaha kancing ini, ia bisa mengangkat Desa Nuwasangi sebagai daerah penghasil kancing tempurung kelapa. Alhasil, usaha ini akan meningkatkan perekonomian desa di Kecamatan Cisayong ini.

Selain Tasikmalaya, kerajinan kancing batok kelapa juga ditekuni Haryanti di Bantul, Yogyakarta. Berbeda dengan Uang, Haryanti terjun di usaha ini secara tak sengaja.

Kebetulan, sang suami adalah perakit berbagai macam mesin, termasuk mesin pembuatan kancing tempurung kelapa. Pemilik CV Ceria Usaha Mandiri ini pun lantas memulai usaha pembuatan kancing sejak 2002.

Awalnya, mantan pengusaha makanan ringan ini, hanya menggunakan dua kantong tempurung kelapa yang dibelinya seharga Rp 10.000. Saat itu, ia memproduksi kancing dua ukuran, yakni 1,3 cm dan 1,5 cm.

Haryanti kemudian menjual kancing-kancing itu ke toko alat-alat jahit di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Tak disangka, pesanan kancing dari toko itu terus mengalir.

Setelah terlihat penjualan yang besar, Haryanti juga mulai menawarkan produknya ke berbagai perusahaan konveksi batik di Yogyakarta. Bak gayung bersambut, banyak perajin batik yang tertarik untuk membeli kancing tempurung kelapa tersebut. Maklum, dengan menggunakan kancing jenis ini, pakaian batik pun lebih terkesan etnik.

Kini, Haryanti membuat kancing dalam berbagai ukuran, mulai ukuran terkecil 1,3 cm yang dijual dengan harga berkisar Rp 10 hingga Rp 50 per buah, hingga kancing terbesar yang dicetaknya dengan diameter 8 cm. Kancing besar ini dijual seharga Rp 2.000 per buah.

Kini, ia telah memiliki pelanggan tetap di Jakarta, Bali, dan Maluku. Pelanggan ini diperolehnya saat mengikuti pameran. Tak hanya pelanggan lokal, Hariyanti juga telah mengekspor kancing ke Malaysia dan Jamaika.

Dalam pengembangan usahanya, Hariyanti juga merangkai kancing tempurung kelapa ini menjadi tas, sarung bantal, gantungan kunci, dan bingkai cermin. Bahkan, ia menjual tempurung kelapa orisinal untuk digunakan konsumen sebagai bahan hiasan rumah.

Tak heran, kini, bahan baku yang dibutuhkannya makin besar. Dalam sebulan, ia butuh satu truk tempurung kelapa senilai Rp 4 juta sebagai bahan baku. Haryanti membeli tempurung itu di sekitar Yogyakarta saja. Dengan modal tersebut, Hariyanti bisa mendulang omzet hingga Rp 20 juta.

Di tahun-tahun mendatang, pengusaha binaan PLN ini terobsesi untuk membuat kancing yang lebih halus dan unik. Sekarang, ia sedang mengembangkan kancing dengan pola tangan. "Untuk kancing yang mempunyai pola rumit seperti ini, saya menjualnya dengan Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per buah," terang perempuan berusia 40 tahun ini.
***

sumber : kontan online

Jumat, 20 April 2012

Potensi Bisnis Baju Perempuan Menyusui

Sudah menjadi kodrat bagi para ibu untuk memberikan air susu ibu (ASI) kepada bayinya. Namun aktivitas menyusui bisa terganggu kalau kebetulan sang ibu sedang berada di tempat umum. Karena itu, agar tetap bisa memberi ASI di mana saja, produsen pakaian pun membuat pakaian khusus bagi ibu menyusui. Bisnis ini terus berkembang selama ada ibu hamil.

Seiring tingginya kesadaran ibu-ibu untuk memberikan air susu ibu (ASI) untuk buah hatinya, mendatangkan peluang untuk berbisnis pakaian ibu menyusui. Maklum, sering, para ibu merasa tak nyaman jika ia terpaksa menyusui di depan banyak orang.

Salah satu produsen pakaian ibu menyusui ini adalah Jovita Roland. Pemilik merek Milky Way ini mulai membuat pakaian ibu menyusui sejak tahun 2007.

Awal mula Jovita terjun pada bisnis ini karena ia kesulitan mencari baju untuk ibu menyusui di pasaran. "Bisa dibilang, saat itu, hampir tak ada pakaian model ini," jelasnya.

Ternyata, hasil kreasinya mendapat respons yang baik dari banyak ibu di sekitar tempat tinggalnya. "Dari situ, saya melihat, permintaan untuk produk ini ada dan berpotensi untuk digarap menjadi sebuah bisnis ke depannya," tuturnya.

Ketika mendesain pakaian ini, Jovita tak hanya mengejar fungsi, tapi tetap memikirkan sisi modis dan kenyamanan. Maklum, baju ini mungkin akan dipakai oleh si ibu selama dua tahun masa menyusui. "Pakaian ini digunakan dalam keseharian, maka model, warna dan motif perlu diperhatikan untuk menghindari kejenuhan," ujarnya.

Mengaku sebagai pionir usaha ini di tingkat lokal, Jovita mengatakan, kini, kompetitor yang membuat pakaian khusus untuk menyusui mulai bermunculan. "Sebelumnya, kebanyakan pakaian menyusui ini merupakan produk impor dan harganya jauh lebih mahal," tandasnya.

Di Milky Way, Jovita menjual produk ini mulai Rp 100.000 hingga Rp 600.000. Ia pun tak gentar bersaing dengan produk impor. Selain kualitas bahan dan model yang setara, produk impor itu tak berlabel brand besar.

Produk Milky Way menyasar semua kalangan. Bahkan, produk ini banyak dipesan oleh WNI yang tinggal di luar negeri, seperti Australia, Jepang, Korea, hingga Belanda. "Kami menggunakan bahan kaus," kata Jovita.

Selain menjual eceran melalui reseller, Jovita juga menerima pesanan dengan desain khusus. Setiap bulan, ia bisa menjual 300 hingga 400 pakaian. Dus, omzetnya pun bisa mencapai Rp 50 juta per bulan.

Dengan melakukan kerja sama dengan beberapa pihak seperti organisasi dan komunitas menyusui serta rumah sakit ibu dan anak, Jovita berharap mampu mengedukasi para ibu bahwa menyusui itu tetap mudah meski sering bepergian. "Menyusui itu menyenangkan dan akan menjadi masa-masa yang dirindukan oleh tiap ibu nantinya," tandasnya.

Selain Jovita, Ester Lilis juga terjun dalam bisnis baju menyusui. Ia merintis usaha ini sejak 2009 di Bekasi.

Awalnya, Ester membuat baju untuk dirinya sendiri. Ia membuat baju khusus menyusui ini karena sangat sulit menemukan tempat yang nyaman untuk menyusui ketika berada di luar rumah.

Ester pun kesulitan mencari baju jenis ini yang diproduksi lokal. "Kebanyakan baju impor yang harganya mahal," ujarnya. Akhirnya, demi memenuhi kebutuhannya, Ester lantas mendesain baju menyusui untuk dirinya sendiri.

Tak disangka, desain bikinannya mendapat respons yang baik dari keluarga dan teman-teman dekatnya. Pikiran Ester pun jadi terbuka bahwa membuat baju menyusui bisa menjadi peluang bisnis yang hasilnya lumayan.

Pasalnya, setiap hari pasti akan ada ibu yang melahirkan kemudian menyusui anaknya. "Permintaan baju khusus menyusui pasti akan terus ada, selama ada ibu hamil," katanya, sumringah.

Selain itu, saat ini kesadaran untuk menyusui di kalangan ibu-ibu juga meningkat tajam setelah undang-undang mengenai aturan penggunaan susu formula diterapkan. Menurut Ester, meningkatnya kesadaran untuk menyusui ini tentu membuat baju menyusui semakin dibutuhkan.

Ester mengaku ide desain baju ini diperolehnya dari majalah mode. Permintaan saat ini didominasi oleh baju khusus menyusui untuk wanita muslimah.

Karena itu, Ester juga rajin membolak-balik halaman majalah baju muslim. "Sekitar 90% permintaan justru untuk baju menyusui muslimah. Mungkin agar lebih efisien karena sekalian baju muslim," tandasnya.

Ester menjual baju khusus ibu menyusui dengan kisaran harga Rp 85.000 sampai Rp 160.000 untuk baju berbahan katun lokal. Adapun baju menyusui dengan bahan kaus rayon, harganya mulai Rp 100.000 sampai Rp 190.000.

Meski hanya memasarkan lewat dunia maya, Ester telah mengirim banyak pesanan hingga ke Sumatra, Kalimantan, Sulawesi bahkan Papua. "Tapi pesanan mayoritas masih datang dari Jabodetabek," imbuh Ester.

Setiap bulan, Ester sanggup menjual hingga 70 baju ibu menyusui. Dengan begitu, ia pun bisa mendulang omzet lebih dari Rp 10 juta per bulan.

Demi memenuhi permintaan pakaian khusus ibu menyusui yang kian ramai ini, Ester pun menggandeng lima produsen baju di seputar Jawa Tengah dan Jawa Barat. Maklum, selain desain yang variatif dan motif, harga tetap menjadi pertimbangan utama konsumennya. "Saya memang melakukan kerja sama dengan produsen lain dan juga banyak konveksi, supaya bisa mendapatkan harga yang lebih kompetitif," pungkasnya.

***

sumber : kontan online

Minggu, 15 April 2012

E-Money, Efisien atau Tidak ?

Orang bilang, sekarang zaman yang serba praktis. Di tengah kesibukan yang kian mendera sehingga waktu semakin terbatas, Anda tentu merasa terganggu jika harus menghadapi soal sepele. Misalnya, menunggu lama untuk menerima uang kembalian saat membayar belanjaan di supermarket atau di pintu jalan tol. Lebih kesal lagi kalau kembalian itu berupa uang receh semua atau diganti segepok permen.

Seiring kemajuan teknologi, penggunaan uang elektronik atau e-money makin marak dalam beberapa tahun terakhir. Wujudnya bisa berupa kartu plastik yang sudah terselip cip atau kartu telepon seluler. Sejatinya, uang elektronik mulai dikenal di Indonesia sekitar awal 2000-an. Bank Bali sebagai pionir menyebutnya dengan e-wallet. Sayang, e-wallet tak bisa berkembang pesat karena bank lebih fokus mengembangkan kartu debit.

Setelah kartu debit berkembang, uang elektronik mulai kembali dilirik sebagai alternatif pengganti uang tunai. Bank Indonesia (BI) mencatat, saat ini, ada enam bank, empat operator telepon, dan satu perusahaan jasa telekomunikasi yang resmi menyediakan uang elektronik. Pengguna dan volume transaksi e-money ini juga terus naik dalam lima tahun terakhir.

Uang elektronik memang membuat transaksi menjadi praktis. Pembeli tak perlu mengeluarkan setumpuk uang dari saku, sedangkan penjual tak usah repot menyediakan uang kembalian. Manfaatnya kian terasa jika dipakai untuk transaksi rutin sehari-hari.

Misalnya, para pelaju yang mengendarai mobil dari pinggiran Jakarta ke pusat kota saban hari. Mereka harus mengalokasikan bujet khusus harian untuk membayar bahan bakar di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dan karcis untuk keluar-masuk jalan tol. Mungkin, ada dua atau tiga ruas tol yang harus dilewati untuk sekali jalan dengan kebutuhan uang sekitar Rp 15.000.

Tak hanya kaum bermobil, para pekerja yang menggunakan angkutan umum ke pusat kota Jakarta juga harus menyiapkan uang transportasi tiap hari. Moda transportasinya bisa berupa bus, kereta api, atau busway Trans Jakarta.

Khusus bagi pengendara motor atau mobil sendiri, mereka harus merogoh kocek lagi untuk membayar parkir. Anggarannya bisa sekitar Rp 10.000-Rp 15.000 sehari. Nah, tentu sangat merepotkan jika orang harus menyediakan uang tunai sejumlah itu tiap hari.

"Kalau memiliki kebutuhan rutin seperti itu, tepat jika menggunakan uang elektronik sebagai alat bayar karena Anda akan mendapatkan benefit-nya," kata M. Ichsan, perencana keuangan dari Prima Planer. Ia mencontohkan penggunaan uang elektronik terbitan salah satu bank yang menawarkan benefit berupa gratis bensin beberapa liter berdasarkan pembelian dalam jumlah tertentu. Ada pula diskon tarif parkir.

Berbagai Diskon

Rico Usthavia Frans, Senior Vice President (SVP) Electronic Banking PT Bank Mandiri Tbk mengungkapkan, banyak keuntungan bagi pengguna kartu prabayar. "Bisa beli apa saja tanpa perlu kembalian. Transaksi lebih cepat," katanya.

Kartu prabayar Bank Mandiri juga bisa digunakan di sekitar 6.000 merchant. "Hampir semua Indomaret menerima dan sekitar 1.000 SPBU," kata Rico. Tawaran diskon yang diberikan Bank Mandiri tak banyak. Namun, beberapa merchant getol memberikan diskon bagi pengguna kartu prabayar ini.

Tingginya animo masyarakat memakai kartu elektronik ini tercermin dari jumlah nasabah pengguna kartu prabayar Bank Mandiri yang akan mencapai satu juta bulan depan. Bahkan, di akhir tahun nanti, ditargetkan jumlahnya 1,5 juta nasabah. Mandiri mematok target, frekuensi transaksi melalui e-money ini mencapai dua juta transaksi sebulan. Rico mengklaim, Bank Mandiri menguasai 55%-62% pasar transaksi uang elektronik di Indonesia.

Peningkatan pengguna uang elektronik juga terlihat pada Flazz BCA. Hingga awal Juli 2011, 2,8 juta kartu Flazz telah beredar. Selama 2011, PT Bank Central Asia (BCA) menargetkan, ada tambahan 400.000 baru. Sementara, transaksi Flazz BCA saban bulan mencapai sekitar Rp 33 miliar.

Manfaat kartu Flazz kian bertambah setelah BCA menggandeng Kompas Gramedia (KG). Dua korporasi ini meluncurkan kartu KG Value Card Flazz pada awal Juli lalu. Target pasarnya adalah pelanggan Grup Kompas beserta para karyawannya.

Unit usaha KG yang terlibat dalam kerjasama ini adalah Kontan, Kompas, Hotel Santika, Toko Buku Gramedia, dan Warta Kota. Jadi, pemilik kartu akan mendapat diskon sebesar 20% untuk setiap acara yang digelar unit KG dan diskon 10% untuk pembelian cenderamata. Selain itu, Hotel Santika memberikan diskon tarif 10% hingga 50% dan diskon buku di Toko Buku Gramedia sebesar 20% hingga 31 Agustus nanti.

Operator seluler terbesar di Indonesia, PT Telkomsel, juga terus mengembangkan T Cash. Mereka menjalin kerjasama dengan merchant yang tersebar hampir di seluruh Indonesia. Terakhir, pada pertengahan Juli, mereka menggandeng convenience store 7-Eleven untuk menawarkan modifikasi dari T Cash, yakni Tap-Izy.

Teknologi radio frequency identification (RFID) berikut cip dan antena yang tertanam pada kartu SIM memungkinkan kartu itu menjadi alat pembayaran. Sama halnya uang elektronik keluaran bank, pengguna cukup menyentuhkan ponselnya ke alat pembaca di kasir.

Tentu, kartu elektronik itu tak gratis. KG Value Card Flazz mesti ditebus dengan harga Rp 50.000. Cara lainnya adalah berlangganan media itu selama jangka waktu tertentu. Harga kartu uang elektronik terbitan bank juga rata-rata Rp 50.000, dengan batas maksimal pengisian Rp 1 juta. Telkomsel pun mematok harga kartu yang sama bagi pelanggan Hallo dan Simpati.

Alat untuk mengontrol bujet rumahtangga

Meski penggunaan uang elektronik berkembang pesat, sejatinya ada kecenderungan fasilitas ini hanya dipakai dalam transaksi tertentu. Misalnya uang elektronik hanya untuk membayar tarif tol, pembelian bensin, atau pembelian tiket moda transportasi.

Contohnya, kartu Bank DKI. Mereka menawarkan beragam fasilitas kepada pengguna kartu Jakcard. Yakni, pembelian tiket busway, kereta api komuter Jakarta, hingga berbelanja di 450 gerai Indomaret di wilayah Jakarta. Pengguna akan mendapat kemudahan karena tak perlu antri lama.

Sementara, pengguna E-toll Card Bank Mandiri mendapatkan fasilitas pintu gerbang khusus untuk pembayaran tol. Fasilitas ini yang menarik masyarakat untuk menggunakan uang elektronik sebagai alat bayar.

Agar fungsinya sebagai alat bayar berjalan lancar, Ichsan mengingatkan, konsumen harus memilih uang elektronik yang bisa diterima di banyak tempat, terutama tempat spesifik yang dibutuhkan. Ia menyarankan uang elektronik digunakan sesuai kebutuhan rutin seperti membayar tol, beli bensin, atau berbelanja di minimarket dan tempat makan yang spesifik. "Kalau pola seseorang masih suka makan di kakilima, susah pakai uang elektronik," katanya.

Selain itu, uang elektronik dapat dipakai untuk mengontrol bujet di setiap pos pengeluaran individu atau rumahtangga. Misalnya, keluarga bisa menggunakan kartu tunai prabayar itu untuk mengontrol pembelian bensin maupun belanja rumahtangga setiap bulan. Alih-alih memakai cara kuno, seperti dengan amplop, kartu semacam itu akan memudahkan keluarga mengalokasikan dana untuk pos-pos pengeluaran rutin.

Kartu tunai prabayar itu menawarkan kepraktisan kepada penggunanya. Selain tak perlu membawa setumpuk duit tunai, kita juga tak perlu ribet memasukkan sandi (PIN) atau membubuhkan tandatangan saat membayar di kasir.

Tapi, sebenarnya, uang elektronik tak lebih efisien ketimbang kartu debit. Kartu debit mempunyai fleksibilitas lebih tinggi karena memiliki batasan nilai transaksi lebih besar. Nah, silakan menimbang. Apakah Anda memang membutuhkan uang elektronik?
***
(sumber : kontan online)

Selasa, 10 April 2012

Peluang Usaha: Nasi Uduk Pun Investasi Menarik

Pekerjaan iseng kerap kali membawa untung. Usaha yang semula cuma untuk membunuh waktu bisa benar-benar berkembang melebihi yang diperkirakan. Pengalaman ini terjadi saat keluarga Kamil mencoba memanfaatkan lahan parkir untuk berjualan nasi uduk di lapangan parkir di depan ruko mereka.

Saat itu mereka menjalankan bisnis money changer bernama Cahaya Sakti. Sehabis jam kerja, lapangan parkir tak termanfaatkan. Otomatis sejak sore hingga pagi hari esoknya lahan itu menganggur, padahal lokasinya sangat strategis di kawasan Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat.

Ide membuat gerai makanan muncul ketika sebuah gerai bakmi Gondangdia di sekitar itu banyak pelanggannya. “Kami lalu berpikir, kami pun bisa melakukan itu, kami punya tempat yang strategis, lahan parkir yang lumayan luas, dan itu tak perlu nyewa. Kenapa tidak digunakan untuk mendirikan gerai makanan tendaan?” ungkap Jusriel Kamil, salah seorang pendiri Nasi Uduk Gondangdia..

Menurut Ernawita, seorang pendiri yang lain, mulanya mereka berempat (Ernawita, Jasmine, istri Jusriel, dan Elizabeth Enrika) membuat sejumlah makanan contoh yang layak dijual untuk menentukan jenis makanan apa yang oocok. Pilihannya jatuh pada nasi uduk karena berciri khas Betawi dan diperkirakan bakal langgeng. Setelah itu mulailah jualan nasi uduk di tempat parkir itu. Jumlah meja yang dipasang sebanyak 12 meja. Mereka menyiapkan nama, yaitu Nasi Uduk Cahaya Asli, nama yang tak jauh dari nama money changer yang mereka miliki.

“Pada hari pertama buka, modal (untuk belanja bahan baku) kami Rp 400 ribu, tapi malam itu kami bisa mengumpulkan pendapatan sampai Rp 600 ribu. Jadi, hari pertama jualan saja kami sudah untung,” cerita Jasmine. Hari-hari berikutnya jumlah pengunjung tak pernah surut, malah terus bertambah. Sampai sekarang, setelah 15 tahun, jumlah pengunjungnya rata-rata 500 orang semalam. Sedangkan omset rata-rata sehari antara Rp 9 juta – Rp 12 juta. Usaha itupun dalam tempo tiga bulan sudah bisa mengembalikan modal awal mereka.

Setelah itu Nasi Uduk Cahaya Sakti mendapat kunjungan tetap para pelanggannya. Uniknya para pelanggan lebih mengenalnya sebagai Nasi Uduk Gondangdia ketimbang nama aslinya Nasi Uduk Cahaya Sakti. Karena itulah belakangan Keluarga Kamil memformilkannya menjadi Nasi Uduk Gondangdia.  Nama ini pula yang diusung untuk ditawarkan kerjasama kemitraannya mulai tahun 2008 ini. “Kami menawarkan franchise Nasi Uduk Gondangdia dengan paket investasi Rp 180 juta,” ujar Hendry E. Ramdhan, marketing franchise manager Nasi Uduk Gondangdia. Investasi itu meliputi franchise fee Rp 100 juta untuk kerjasama tiga tahun dan sisanya untuk persiapan pembukaan outlet.

Menurut Hendry, ada dua paket yang ditawarkan yaitu tipe Full Outdoor (tenda knock down) dengan ukuran 10 x 10 m2 dan jam operasionya 16.30 hingga 23.30 dan tipe Kombinasi Outdoor dan Ruko dengan ukuran tempat 100 m2 yang jam operasionalnya jam 11.00-23.30. Setiap franchisee mendapatkan tenda knock down (outdoor) perlengkapan dan peralatan operasional, furniture (meja & kursi), mesin kasir, bahan baku awal, paket promosi usaha (seragam, spanduk, brosur, banner), training karyawan, quality control dan monitoring, asistensi survey lokasi, dan buku manual (SOP/Standard Operation Procedure).

Dalam ilustrasinya Hendry menggambarkan, pendapatan satu gerai Nasi Uduk Gondangdia bisa mencapai Rp 200 juta sebulan. Sedangkan pengeluarannya sekitar Rp 150 juta yang meliputi bahan baku Rp 100 juta dan sisanya meliputi gaji karyawan, royalti, penyusutan, dan sewa tempat Rp 50 juta. Walhasil gerai itu bisa membukukan keuntungan Rp 50 juta sebulan. Dengan keuntungan sebesar itu balik modal bisa didapat dalam waktu empat bulan. Tetapi, menurut Hendry, moderatnya balik modal sekitar 10 bulan.
***

sumber:  http://majalahduit.co.id

Kamis, 05 April 2012

Franchise: Dari Gerobak ke Restoran

Meski tampak gampang, berjualan bakmi tidaklah mudah. Jumlah mereka yang sukses mungkin sama banyaknya dengan penjual bakmi yang gagal lalu beralih ke usaha lain. Uniknya, pasar bakmi tak pernah kehabisan pedagang. Selalu muncul pedagang baru. Hanya saja mereka yang bisa bertahan ternyata yang menghasilkan rasa bakmi yang enak dan khas. Salah satunya bisa disebut Bimada yang mengelola jaringan Bakmi Raos.

Ada yang unik dari perjalanan bisnis Bimada. Ketika pertama kali ia terjun jadi pengusaha bakmi justru diawali dengan menjadi franchisee sebuah franchise bakmi besar. Cuma usahanya itu gagal pada bulan-bulan awal padahal investasinya sampai ratusan juta rupiah. Meski begitu Bimada tak kapok. Ia yakin pasar bakmi tak akan pernah kehilangan pelanggan. Itulah kenapa ia lebih memilih mencoba lagi ketimbang mencari bisnis lain.


Langkah pertama ia  belajar membuat bakmi dengan mengikuti kursus bersama ibu-ibu. Ini berarti ia kembali ke titik nol. Setelah bisa membuat bakmi ia jualan bakmi di sebuah lapak di Bintaro. Meski bakminya lumayan enak, saat itu ia belum menemukan resep bakmi yang benar-benar maknyos. Baru setelah seorang kawannya membisiki resep khusus, rasa bakminya makin mantap. Dari situlah lahir Bakmi Raos.


Sejak awal Bimada memang ingin mengembangkan Bakmi Raos menjadi jaringan besar. Lalu pada tahun 2003 ia merekrut para pedagang bakmi untuk menjajakan Bakmi Raos dalam gerobak. Awalnya ia membangun dua gerobak dengan modal Rp 10 juta. Sistemnya, ia mendapat margin Rp 1.500 per mangkok bakmi yang terjual sedangkan pedagangnya memperoleh Rp 1.000 dari harga Rp 6.000 per mangkok. Pola usaha ini akhirnya berkembang. Dari hanya dua gerobak lalu bertambah menjadi sepuluh. Dan dalam tempo setahun ia sudah memiliki 193 gerobak. Jumlah pedagang yang dilatihnya –-sebagian keluar-masuk-- mencapai 600 orang hingga tahun 2006.

 
Untuk mengembangkan usahanya lebih cepat lagi, ia membangun pola kemitraan. Dengan pola ini Bimada tak perlu menggaji mereka. Mitranya cukup membeli mie dan minyak goreng darinya plus gerobak yang ia rancang. Kemitraan ini hingga menghasilkan jaringan mitra mencapai 120 orang. Total bersama grobak miliknya ia bisa mendirikan lebih dari 300-an outlet. Pola kemitraan yang berhasil merekrut banyak mitra ini membuat Bimada meraih juara satu dalam ajang Dji Sam Soe Award 2006 sebagai UKM Terbaik Indonesia tahun itu.

Setelah berjalan lima tahun, mulai tahun 2008 ini Bimada mengembangkan pola kemitraan yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini ia tawarkan pengalamannya mengelola Bakmi Raos dan Cippes Family Resto (yang juga sukses ia waralabakan) untuk menjaring mitra bisnis yang benarbenar ingin jadi pengusaha restoran. Ide ini, ujar Bimada, karena dari pengalamannya investor yang mengelola gerai kecil kurang mendapat tantangan. Lagi pula, dengan investasi yang sekitar Rp 10 juta sebelumnya, kebanyakan mitranya tak sungguh-sungguh ingin jadi pengusaha. “Mereka menganggap usahanya itu hanyalah usaha sampingan. Bagaimana bisa mendapatkan keuntungan besar jika usahanya hanya usaha sampingan. Lagi pula kalau usahanya itu bangkrut tak membuat mereka menangis,” ujarnya ketidaksungguhan mitranya itu.


Nah, kemitraan yang baru ini benar-benar menantang. Nilainya juga lumayan dengan variasi investasi mulai dari  Rp 20 juta  hingga  Rp 150 juta yang terbagi dalam empat paket usaha. Paket investasi Rp 20 juta hingga Rp 25 juta menjual mie ayam, bakwan Malang, dan Mpek Mpek Palembang dalam satu gerobak. Paket berikutnya merupakan paket usaha mendirikan Mini Resto dan Family Resto. Berbeda dengan paket sebelumnya, dua paket ini merupakan pembimbingan usaha mendirikan restoran dengan konsep restoran sesuai keinginan mitra. 

Paket Mini Resto ditawarkan dengan biaya kemitraan Rp 45 juta dengan pilihan mini resto untuk jenis makanan Chinese Food atau Western Food. Sedangkan Paket Family Resto yang ditawarkan dengan investasi Rp 75 juta untuk restoran yang men makanan Chinese Food dan Western Food sekaligus. Ada juga paket kafe Bakmi Raos dengan investasi Rp 150 juta. Nah, aneka paket  itu bisa BEP dalam waktu kurang dari 2 tahun.
 ***

sumber:  http://majalahduit.co.id

Selasa, 03 April 2012

Kemenkop UKM Beri Insentif Untuk UKM Mart

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah mendorong koperasi agar mampu bersaing dengan toko ritel modern berjejaringan. Caranya dengan meminta koperasi mengembangkan toko atau warungnya menjadi toko modern berjejaringan.
 
“Kami memberikan insentif Rp 65 juta untuk perbaikan lokasi usaha, penataan display, dan pelatihan manajemen berbasis teknologi informasi,” ujar Deputi Bidang Pemasaran dan Jaringan Usaha Kementerian Koperasi dan UKM Nedy Rafinaldi Halim di sela penandatanganan kerja sama ekonomi tujuh daerah se-eks Karesidenan Surakarta di Surakarta.

Dia mengatakan, dari sekitar 186 ribu koperasi di Indonesia, 37 ribu di antaranya sudah memiliki toko atau warung. Namun masih dikelola secara sederhana dengan tampilan barang yang kurang menarik serta tidak ada pengelompokan barang dagangan.

Program insentif di atas dimulai sejak 2011, di mana hingga kini sudah ada 84 outlet toko ritel di 20 provinsi yang berhasil didirikan. Outlet toko ritel yang mengusung nama UKM Mart terbukti dapat meningkatkan omzet antara 20-30 persen.

Keberadaan UKM Mart juga berguna untuk pemasaran produk lokal hasil produksi usaha mikro kecil dan menengah, yang selama ini sering kesulitan masuk di toko ritel modern berjejaringan karena banyaknya persyaratan yang harus dipenuhi. Produk lokal, kata Nedy, mendapat prioritas untuk dijual di UKM Mart.

Saat ini ada sekitar 1.600 proposal dari koperasi yang ingin warung atau tokonya diubah menjadi UKM Mart. Karena keterbatasan dana, tahun ini hanya 24 proposal yang akan ditindaklanjuti.

Sementara itu, Kepala Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Jawa Tengah Sujarwanto mengatakan di Jawa Tengah ada delapan outlet UKM Mart. Yaitu dua unit di Semarang dan masing-masing satu di Banyumas, Tegal, Cilacap, Magelang, Surakarta, dan Blora.

Ke depan, kami akan membangun outlet UKM Mart di Bandar Udara Adi Soemarmo, Bandara Ahmad Yani, dan Bandara Adisucipto,” ujarnya dalam kesempatan yang sama. Untuk barang yang dijual, pihaknya sudah menyiapkan 70 produk unggulan Jawa Tengah, seperti furnitur, mebel, makanan dan minuman khas daerah tertentu, agrobisnis, dan kerajinan.

Menurutnya, paling tidak dalam satu kota berdiri UKM Mart. Jika nantinya sudah semakin banyak UKM Mart, bisa diterapkan sistem belanja bersama untuk efisiensi biaya produksi.
***

sumber : tempo.co

Minggu, 01 April 2012

Kartu Baca Balita, Peluang Bisnis Untungnya Nyata

Untuk mengenalkan huruf pada anak balita, banyak orang tua menggunakan berbagai macam alat bantu, mulai dari koran, majalah, hingga alat peraga. Salah satu alat bantu itu adalah flashcard. Ini pula yang ditangkap para pebisnis flashcard mendulang untung puluhan juta.
 
Tak sedikit orang tua yang kesulitan mengajarkan buah hati mereka untuk belajar membaca. Namun itu bukan berarti mereka patah semangat. Mereka menggunakan alat bantu agar proses belajar membaca menyenangkan. Salah satu cara adalah dengan menggunakan alat bantu adalah flashcard. Ini adalah kartu yang terbuat dari kertas berisikan pesan atau informasi berupa huruf yang bisa ditangkap dan dikenali panca-indra anak, utamanya anak di bawah usia lima tahun.

Di beberapa negara maju, menggunakan alat bantu berupa flashcard sudah lama digunakan dan konon terbukti efektif untuk mengajar anak membaca.


Adapun di Indonesia, beberapa tahun belakangan penggunaan flashcard meruak. Namun, kebanyakan kartu yang digunakan merupakan barang impor dengan harga jual yang tinggi.


Padahal, di dalam negeri. banyak produsen yang memproduksi flashcard. Salah satunya Limanjaya di Bandung. Pemilik toko BayiPintar.com itu mulai memproduksi flashcard sejak 2008. "Saya bikin flashcard setelah melihat harga flashcard impor dari Singapura dijual Rp 1,5 juta per set," kata Liman.


Liman memproduksi flashcard itu untuk kebutuhan anaknya. Ia membuat flashcard untuk mengajari anaknya membaca. Tak disangka, sang anak bisa memahami kata per kata yang ada pada lembaran flashcard itu. "Sejak itulah tertarik produksi banyak," terang Liman.


Dengan mengusung merek Kartu Pintar, flashcard itu dipasarkannya lewat pertemanan serta lewat dunia maya. Setelah tiga tahun lamanya, kini Liman mampu menjual 5.000 set flashcard setiap bulan."Setiap set terdapat 100 lembar flashcard," katanya.


Dengan harga jual Rp 45.000 per set, Liman mendulang omzet hingga Rp 200 juta per bulan. Pasar flashcard itu tidak hanya untuk wilayah Bandung saja, Liman juga memasarkannya ke banyak kota di Indonesia. "Permintaan tertinggi masih dari Pulau Jawa, terutama Jabodetabek" terang Liman.


Selain Liman, ada Diena Ulfaty yang berbisnis flashcard sejak 6 bulan lalu. Ulafaty terinspirasi berbisnis flashcard karena sukses mengajari anaknya membaca dengan bantuan flashcard.


Wanita berusia 32 tahun itu akhirnya memproduksi lebih banyak flashcard dengan merek ABACA Flash Card. Kini ia memiliki flashcard dengan dua seri cerita, yakni seri cerita "Panen Es Krim" dan seri cerita "Menguak Misteri Rumah Stroberi."


Setiap lembaran flashcard Diena terdapat ejaan huruf. Jika lembaran flashcard itu digabungkan, akan membentuk susunan suku kata berikut dengan gambar.


Menurut Diena, pengenalan suku kata dengan flashcard efektif mengenalkan simbol dan huruf kepada balita. "Hasilnya anak mampu menghafal huruf dalam waktu singkat," ujarnya.


Untuk memasarkan produk flashcard itu, Diena pertama kali menjualnya kepada teman-temannya. Hanya alam tempo sebulan, dia berhasil menjual 50 paket flashcard yang dijual seharga Rp 45.000 per paket. Setiap paket flashcard terdiri dari 44 lembar kartu.


Memasuki bulan kedua, permintaan mengalami kenaikan. Agar pesanan bisa terpenuhi, Diena merekrut enam karyawan untuk membantunya memproduksi flashcard. "Bulan kedua saya bisa menjual 100 paket," terangnya.


Karena pesanan semakin deras mengalir, Diena bisa menjual hingga 1.000 paket flashcard per bulan dengan omzet Rp 45 juta.

***

(sumber : kontan online)